oleh

Setelah terbitnya tata cara pelaksanaan kebiri kimia

Sementara untuk terpidana yang dinyatakan tidak layak untuk dikebiri, bukan berarti dapat langsung merasa lega. Tindakan kebiri ditunda paling lama enam bulan dan selama penundaan dilakukan lagi penilaian klinis.

Apabila dalam penilaian klinis ulang tetap dinyatakan tidak layak untuk dikebiri, baru jaksa akan menyampaikan hal tersebut kepada pengadilan yang memutus perkara.

Pelaksana dan anggaran
Secara jelas PP tersebut mengatur dokter yang akan mengeksekusi hukuman kebiri kepada pelaku kekerasan seksual.

Namun, terhadap kasus Muhammad Aris itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kala itu menolak menjadi eksekutor karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip dan kode etik kedokteran.

IDI, berdasar fatwa Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia serta kode etik kedokteran Indonesia, sebelumnya menyampaikan agar pelaksanaan hukuman kebiri kimia tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor.

Selain itu, penolakan IDI juga atas alasan dasar keilmuan dan bukti ilmiah kebiri kimia tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat seksual dan potensi perilaku kekerasan seksual pelaku.

Nampaknya masih perlu dicari jalan tengah antara peraturan hukum dan kode etik dalam eksekusi kebiri kimia, misalnya, dengan melatih petugas untuk melakukan kebiri kimia.

Selain itu, sumber daya untuk melakukan hukuman tersebut dinilai mahal karena selain untuk kebiri kimia, diperlukan anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis untuk terpidana kebiri kimia.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut dalam praktik hukuman kebiri di negara lain terbukti persiapan dan pembangunan sistem perawatan kebiri kimia yang tepat membutuhkan banyak sumber daya dan mahal.

Sementara PP tersebut tidak merinci dan hanya menyebut anggaran untuk pelaksanaan kebiri kimia dari APBN, APBD dan sumber lain.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitulu mengatakan pemerintah melalui kementerian-kementerian terkait tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal itu.

Menurut dia, adanya PP 70/2020 seolah negara menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku.

Sementara di sisi lain, korban disebutnya masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri. Anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus dipangkas.

Senada, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pun menilai apabila terlalu berfokus pada pelaku, akhirnya pemulihan korban justru akan terlupakan. Padahal pemulihan korban merupakan hal yang lebih penting.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed