Kondisi cuaca ekstrem yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia mengakibatkan pengiriman pasokan batubara untuk PLTU menjadi terganggu.
Di sisi lain, pengoperasian pembangkit listrik berbasis bahan bakar minyak (BBM) dapat meningkatkan secara signifikan biaya pengoperasian.
Hammam mengatakan terganggunya produksi listrik yang menggunakan bahan bakar batubara maupun BBM memaksa ketersediaan listrik di Jawa-Madura-Bali dipasok oleh pembangkit listrik tenaga air (PLTA), khususnya di wilayah Waduk Kaskade Citarum.
Kondisi tersebut memaksa PLTA di Saguling dan Cirata menggenjot produksinya sehingga berimbas pada penurunan muka air yang cukup signifikan bahkan di bawah batas operasi normal.
Waduk Saguling memiliki kapasitas produksi 4 x 175.8 MW, sedangkan Waduk Cirata 8 x 126 MW dan Waduk Jatiluhur 187 MW.
Sebelum operasi TMC per 1 Maret 2021, kondisi tinggi muka air di Waduk Saguling tercatat -2,21 meter di bawah batas operasi normal, Waduk Cirata -0,87 meter di bawah batas operasi normal, dan Waduk Jatiluhur -0,96 meter di bawah batas operasi normal.
Untuk operasional listrik sudah minim, bahkan secara keseluruhan untuk pertanian dan kebutuhan bahan baku air, meskipun sudah dibuatkan rencana operasi pengelolaan waduk dari Januari hingga Desember.
Jika Waduk Jatiluhur tidak ada air, maka imbas terhadap cadangan air bagi masyarakat Jakarta, karena 80 persen kebutuhan air penduduk Jakarta bersumber dari Jatiluhur lewat Citarum Barat.
Kegiatan Operasi TMC dilakukan BBTMC BPPT bersinergi dengan Perum Jasa Tirta II, PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali, dan didukung oleh Lanud Husein Sastranegara, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Pusat Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan BMKG, demikian Hammam Riza.(anjas)
Komentar