Meski begitu, ia mengaku ada rokok ilegal yang harganya Rp4.000/bungkus, Rp5.000/bungkus isi 20 batang, Rp5.000/bungkus isi 16 batang, Rp6.000/bungkus isi 20 batang hingga Rp7.500/bungkus isi 20 batang
“Rokok ilegal akhirnya sangat murah dan mudah diperoleh mulai dari lingkungan terdekat dengan informasi dari mulut ke mulut, membeli dari teman, temannya beli dari teman, dan beredar di lingkungan perkopian dan keluarga,” ungkap Krisna.
Krisna juga menemukan rokok ilegal diperjualbelikan di warung atau toko meski tidak terpampang di etalase toko. Namun pembeli yang ingin membeli rokok ilegal tinggal menyebut “Rokok Rp3.000 ada tidak?”.
Khusus untuk peredaran rokok ilegal di hajatan, menurut Krisna, hal itu tergantung dengan budaya setempat.
“Budaya rokok dan merokok lekat dengan masyarakat Jepara, terutama dalam tradisi ‘potangan’ atau datang ke hajatan, biasanya rokok ‘poden’ atau rokok yang dijadikan hadiah hajatan hanya rokok legal untuk menjaga gengsi, sedangkan yang ilegal dikonsumsi keseharian karena ada yang mengatakan kalau menggunakan rokok ilegal akan dibicarakan 7 turunan,” jelas Krisna.
Di empat kabupaten itu, Krisna menemukan rokok ilegal diasosiasikan dengan rokok untuk usia tua, strata sosial rendah, dan pekerja kasar di pinggiran sehingga rokok ilegal tidak masuk dalam pergaulan anak-anak muda dan beredar di komunitas tertentu.
“Artinya masyarakat rentan mengonsumsi rokok ilegal meski akses lebih tertutup, tetapi rokoknya murah sehingga masyarakat lebih mampu untuk mengonsumsinya,” ungkap Krisna.
Dalam penelitian yang sama, Krisna menemukan bahwa alasan utama masyarakat mengonsumsi rokok ilegal adalah harganya yang murah.
“‘Rokok ilegal dan legal sama-sama bahaya jadi mending (lebih baik) cari yang murah’, ‘tidak mungkin orang yang kerjanya ngarit (menyabit) makanan sapi tapi belinya rokok Rp30 ribu, pasti Rp4 ribu’, seperti itu kata informan saya,” ungkap Krisna.
Namun dari data yang diperoleh, menurut Krisna, klaim rokok ilegal muncul karena adanya kenaikan harga rokok di Indonesia tidak terbukti karena dari data 2013-2018 menunjukkan kenaikan harga cukai tidak berkorelasi dengan rokok ilegal tapi berkorelasi pada penegakan hukum.
“Jumlah rokok ilegal yang disita dari proses penindakan sejak 2016 sampai 2020 jumlahnya naik signifikan. Hal ini menunjukkan memang target kinerja DJBC meningkat dan sisi operasi dan jumlah batang yang disita meningkat meski pada saat yang sama harga rokok dari 2011-2018 meningkat. Apakah peningkatan harga menghasilkan kondisi yang sama dengan peredaran rokok ilegal? Dari survei yang dilakukan UGM pada 2010-2018, estimasi rokok ilegal 2010-2016 meningkat tetapi dari 2016-2018 menurun menunjukkan rokok ilegal berkurang meski harga rokok meningkat,” jelas Krisna.
Komentar