MURATARA, JURNAL SUMATRA – Ajang Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025 tingkat Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) yang semestinya menjadi wadah pelestarian bahasa daerah justru mencoreng dunia pendidikan. Sejumlah peserta dan guru pendamping menuding pelaksanaan lomba penuh dengan kejanggalan dan kecurangan.
Acara yang digelar di Lapangan Silampari, Kecamatan Rupit, Kamis (30/10/2025) itu disebut hanya menjadi formalitas belaka. Pemenang dikabarkan sudah ditentukan bahkan sebelum kompetisi dimulai.
“Kompetisinya kotor. Dewan juri tidak netral, ada yang berasal dari sekolah pemenang. Ini tidak adil dan mencederai semangat FTBI,” ungkap R, salah satu guru pendamping peserta, dengan nada kesal, Jumat (31/10/2025).
Ia menuturkan, peserta dari sekolahnya sudah berlatih lebih dari sebulan siang dan malam, mengikuti semua ketentuan lomba, namun hasilnya nihil.
“Anak-anak tampil maksimal, tapi kalah karena bukan ‘orang dalam’. Ini sangat mengecewakan,” tegasnya.
Lebih lanjut, R menyebut bahwa pihak panitia dan juri terkesan menutup diri saat dikonfirmasi terkait dugaan permainan di balik hasil lomba.
“Waktu kami tanya, mereka bungkam. Jelas ada kongkalikong di sini,” katanya.
R mendesak agar ke depan dewan juri diambil dari pihak independen atau dari provinsi, agar tidak ada konflik kepentingan.
“Kalau juri dari sekolah peserta, hasilnya pasti tidak objektif. Ini sudah tidak sehat,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Pelaksana FTBI 2025, Koko Triantoro, yang juga guru di SD Negeri Embacang Lama, menepis tudingan adanya permainan atau manipulasi hasil lomba. Ia menegaskan seluruh proses telah mengikuti juknis dari Balai Bahasa Provinsi.
“Kami sudah bekerja profesional. Penilaian dilakukan sesuai aturan, tidak ada keberpihakan,” ujarnya.
Koko juga menjelaskan bahwa kata sambutan dan pengenalan diri peserta tidak termasuk dalam waktu penilaian.
“Yang dinilai adalah mulai dari penyebutan judul hingga isi puisi. Jadi kami tidak melanggar aturan,” katanya.
Meski begitu, pernyataan tersebut tidak meredam kekecewaan peserta. Beberapa pihak menilai panitia seharusnya lebih transparan dan terbuka, karena dugaan keberpihakan ini dapat mencoreng nama baik dunia pendidikan di Muratara.
“Kalau seperti ini, anak-anak kehilangan semangat. FTBI seharusnya ajang belajar, bukan tempat main politik kecil-kecilan,” tutup salah satu guru yang enggan disebut namanya. (AkaZzz)













Komentar