Dijelaskan Sarono, memang secara tertulis ‘aturan’ itu tidak ada. Namun, pemberlakuan ‘harus naik atau lulus 100 persen’ sejatinya ini sudah menjadi rahasia umum di dunia pendidikan saat ini.
Menurutnya, memang keberhasilan seorang pendidik salah satu indikatornya dilihat dari persentase tingkat kenaikan dan kelulusan anak didiknya, tetapi jangan karena tujuan itu, mutu pendidikan anak jadi seolah dikesampingkan.
“Hasil ujian anak didik mereka ‘disulap’, demi mencapai target 100 persen sehingga ‘dianggap’ berhasil. Dugaan seperti itu polanya. Ironinya anak tersebut ternyata membaca tidak bisa,” ungkap Sarono.
Untuk itu, ia berharap pemerintah harus segera membenahi sistem pendidikan yang ada saat ini. Sebab jika dibiarkan berlarut, problem buta aksara akan jadi ‘bom waktu’.
“Kita semua tahu, keberhasilan pendidikan seorang anak merupakan tanggung jawab bersama. Tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah, guru atau pihak sekolah. Peranan orang tua dan lingkungan sangat menentukan,” pungkasnya. (van)
Komentar