LUBUK LINGGAU, JURNAL SUMATRA -Penanganan kasus dugaan pembunuhan terhadap almarhum Auton Wazir yang terjadi beberapa bulan lalu di Kantor Dinas PUPR Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) kini menuai sorotan. Pihak keluarga korban menilai banyak kejanggalan dalam proses hukum, mulai dari penyidikan di Polres Muratara hingga proses persidangan di Pengadilan Negeri Lubuklinggau.
Istri korban, Nisatus Zahro, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap penanganan perkara yang dianggap tidak transparan. Ia menilai sejak awal, terdapat sejumlah hal janggal dalam perjalanan kasus tersebut.
“Pertama, surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) baru kami terima ketika masa tahanan tersangka hampir habis, itupun setelah kami marah terhadap penyidik Polres Muratara. Kedua, jadwal sidang diberikan begitu mendadak, di hari yang sama dengan persidangan, dan pemberitahuannya pun hanya lewat telepon, bukan surat resmi. Ketiga, keluarga korban tidak diperbolehkan hadir atau mendampingi saat persidangan berlangsung,” ungkap Zahro, Selasa (4/11/2025).
Lebih lanjut, Zahro menuturkan bahwa sidang yang seharusnya digelar pada Senin, 3 November 2025, tiba-tiba ditunda oleh pihak pengadilan hingga Senin pekan depan tanpa alasan yang jelas. Menurutnya, hal itu menambah kecurigaan keluarga terhadap proses hukum yang berjalan.
Selain itu, Zahro menyebut pihak keluarga juga mendapat informasi bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan menerapkan Pasal 44 KUHP terhadap terdakwa. Pasal tersebut menyebutkan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan karena gangguan jiwa atau cacat mental tidak dapat dipidana.
“Dari sinilah kami mulai curiga ada keberpihakan. Kami khawatir ada oknum aparat penegak hukum (APH) yang sudah ‘masuk angin’ atau menerima sogokan agar pelaku tidak bisa dipidana,” tambahnya.
Zahro juga menduga kuat bahwa pelaku pembunuhan suaminya tidak bertindak seorang diri. Ia meminta aparat penegak hukum agar mendalami kasus tersebut secara menyeluruh.
“Kami yakin ada pelaku lain atau otak di balik pembunuhan ini. Tolong aparat jangan berhenti di satu tersangka saja, karena mustahil pelaku bertindak sendirian,” tegasnya.
Lebih lanjut, Zahro menyoroti proses rekonstruksi kasus yang dianggap tidak transparan. Ia mengaku tidak pernah diberi tahu soal pelaksanaan rekonstruksi oleh pihak kepolisian.
Menurutnya, rekonstruksi yang seharusnya dilakukan di Kantor PUPR Muratara justru dilaksanakan secara tertutup oleh Polres dengan alasan keamanan.
“Kami jadi bertanya-tanya, untuk apa fungsi kalian sebagai aparat kalau alasan keamanan dijadikan dalih untuk menutupi proses hukum? Kami sebagai keluarga korban berhak tahu,” ujarnya kesal.












Komentar